Posted by: robertsumardi | November 26, 2008

STRATEGI KONSTRUKSI TES DAN SISTEM PENILAIAN PENGAJARAN BAHASA INGGRIS

Oleh: Sumardi, M.Hum*)

A. Pendahuluan

Keberhasilan proses belajar mengajar di kelas dapat dilihat dari sejauh mana penguasaan kompetensi yang telah dikuasai oleh seluruh siswa di kelas itu. Keberhasilan ini selalu dikaitkan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Pada dasarnya hasil belajar siswa dapat dinyatakan dalam tiga aspek, yang biasa disebut dengan domain atau ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga ranah tersebut selalu terkait dan pasti terlibat dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Hanya porsi dari masing-masing ranah tersebut bervariasi sesuai dengan karakteristik mata pelajaran.

Mata pelajaran olah raga, misalnya, lebih menonjolkan ranah psikomotorik, sedangkan mata pelajaran matematika akan lebih menonjolkan ranah kognitif selain ranah afektif yang mestinya muncul pada setiap mata pelajaran. Berbeda dengan mata pelajaran bahasa Inggris yang menghendaki ketiga ranah tersebut secara integratif dikuasi oleh siswa. Pada umumnya ranah afektif, walaupun sering tidak tampak pada setiap tujuan pembelajaran atau kompetensi yang akan dicapai, tetapi hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi guru dan siswa. Bagaimana perubahan sikap sosial siswa, minat, disiplin, komitmen dan sebagainya setelah mengikuti mata pelajaran merupakan manifestasi ranah afektif. Ranah ini biasa dihubungkan dengan mata pelajaran agama dan budi pekerti semata, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar. Permasalahan utama yang muncul adalah bagaimana melakukan pengukuran ranah tersebut dalam sebuah kegiatan pembelajaran.

Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk mengukur hasil belajar mengajar, yaitu tes, pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Tes terdiri dari sejumlah pertanyaan yang memiliki benar dan salah. Pengukuran adalah prosedur yang sistematik untuk menentukan angka pada suatu objek atau gejala. Penafsiran hasil pengukuran disebut dengan istilah penilaian. Selain itu istilah penilaian dan evaluasi sering ditukarbalikkan penggunaanya, tetapi sebenarnya memang berbeda. Stuffleman et al (1971) mendefinisikan evaluasi sebagai proses untuk memperoleh informasi guna memilih alternatif yang terbaik. Evaluasi juga didefinisikan sebagai kegiatan untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program. Pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan tiga hal yang bersifat hirarkis. Untuk mendapat hasil pengukuran, penilaian dan evaluasi yang baik diperlukan tes yang baik pula.

Pada umumnya penyusun tes (baca: guru) dalam menyusun sebuah tes atau instrumen untuk mengukur keberhasilan proses belajar siswa kurang memperhatikan prosedur penyusunan yang benar, sehingga sering dijumpai alat ukur itu validitas dan reliabilitasnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Ada beberapa alasan mengapa penyusun tes sebagai alat ukur kompetensi siswa sering tidak mengikuti prosedur yang baik. Pertama, kurun waktu untuk menyusun tes relatif singkat, padahal tes itu harus segera digunakan. Sebenarnya perlu waktu yang cukup lama untuk bisa menghasilkan tes yang baik. Kedua,  kompetensi guru untuk mampu menyusun tes yang baik masih dirasa terbatas. Keterbatasan kompetensi ini mungkin lebih disebabkan kurangnya referensi yang dapat digunakan oleh guru dalam mengembangkan tes yang baik. Ketiga, kurangnya pengalaman untuk menyusun tes. Pengalaman merupakan ‘guru’ yang paling baik. Dengan pengalamannya, guru akan banyak belajar bagaimana menyusun tes yang mempunyai validitas dan reliabilitas  yang tinggi.

B. Validitas dan Reliabilitas Tes

Validitas tes biasa juga disebut sebagai kesahihan suatu tes adalah mengacu pada kemampuan suatu tes untuk mengukur karakteristik atau dimensi yang dimaksudkan untuk diukur. Sedangkan reliabilitas atau biasa juga disebut sebagai kehandalan suatu tes mengacu pada derajat suatu tes yang mampu mengukur berbagai atribut secara konsisten (Brennan, 2006). Konstruksi tes yang baik harus memenuhi kedua syarat tersebut, sehingga tes itu mampu memberikan gambaran yang sebenarnya terhadap kondisi testee (siswa) yang diuji.

Kesahihan alat ukur harus dilihat dari tiga hal, yaitu konstruksi, isi dan kriteria. Semua jenis kesahihan harus diperhatikan untuk semua jenis tes, hanya penekanan yang berbeda. Tes psikologi menekankan pada konstruksi tes, tes pencapaian belajar menekankan pada kesahihan isi, sedangkan tes seleksi menekankan pada kesahihan kriteria, terutama pada kesahihan prediktif.

Kesahihan isi suatu tes dilihat dari kisi-kisi dan/atau tabel spesifikasi. Pada prinsipnya materi suatu tes merupakan sampel dari materi pelajaran yang diajarkan. Sampel yang dipilih harus mewakili semua materi yang diajarkan. Salah satu bentuk kisi-kisi yang sering digunakan adalah dengan menggunakan taksonomi Bloom, misalnya sebagai berikut:

Komp.

Peng.

Pem.

Apli.

Anal.

Sint.

Eval.

Jml.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

3

2

1

1

4

3

3

3

2

1

2

2

3

4

4

2

1

2

2

2

3

9

8

9

10

8

6

Jml.

7

16

17

10

50

Evaluasi terhadap validitas isi harus dilakukan dengan serius dan dilakukan oleh orang yang benar-benar menguasai di bidangnya. Misalnya evaluasi validitas tes mata pelajaran bahasa Inggris harus dilakukan oleh orang (guru) yang banyak menguasai bahasa Inggris. Distribusi letak butir-butir dalam sel yang baik adalah yang cenderung mengukur kemampuan aplikasi ke atas. Oleh karena itu butir tes yang digunakan harus lebih banyak pada kategori aplikasi ke atas.

Kesahihan konstruk suatu tes dilihat dari definisinya. Kalau kita ingin mengukur kemampuan berpikir logis, maka definisi berfikir logis harus dibuat terlebih dahulu. Kalau kita ingin mengukur kemampuan siswa dalam mengaplikasikan genre ‘recount’, maka definisi dan karakteristik jenis teks ‘recount’ harus dibuat terlebih dahulu. Selanjutnya semua butir tes harus dapat dikembalikan pada definisi tersebut. Tetapi harus diingat bahwa tes kompetensi berbahasa bukan mengukur penguasaan tentang ilmu bahasa itu, tes harus mengukur kompetensi siswa dalam mengaplikasikannya dalam bentuk komunikasi nyata. Pada prinsipnya pengukuran yang ingin dilakukan adalah memiliki dimensi satu. Kalau kita ingin mengukur kemampuan berbahasa, maka di dalamnya tidak ada kemampuan lain yang diukur. Pada alat ukur yang mengukur satu dimensi, kita bisa menjumlahkan skor-skor butirnya. Bila yang diukur lebih dari satu dimensi maka penjumlahan skornya sebenarnya menyalahi konsep pengukuran.

Jenis kesahihan yang ketiga adalah kesahihan kriteria. Kesahihan ini dibagi dua, yaitu kesahihan konkuren dan kesahihan prediktif yang kesemuanya menunjukkan daya prediksi atau daya ramal. Daya prediksi yang dinyatakan dengan angka yang besarnya mulai dari 0 sampai 1,00 merupakan korelasi antara skor tes dengan kriteria keberhasilan. Misalnya korelasi skor tes masuk perguruan tinggi dengan indeks prestasi. Semakin besar korelasi skor tes masuk dengan prestasi belajar, maka dapat dikatakan bahwa daya prediksi tes masuk tinggi atau kesahihan tes masuk tinggi.

C. Pengembangan Tes

Tes yang banyak digunakan di sekolah adalah tes hasil belajar yang dilaksanakan di kelas. Menurut Djemari Mardapi (2003) tujuan pengembangan tes meliputi 1) meningkatkan tingkat kemajuan siswa, 2) mengukur pertumbuhan dan perkembangan siswa, 3) merangking siswa berdasarkan kemampuannya, 4) mendiagnosis kesulitan siswa, 5) mengevaluasi hasil pengajaran, 6) mengetahui efektivitas pencapaian kurikulum, dan 7) memotivasi mahasiswa. Sebuah tes sering dipakai untuk beberapa tujuan, tetapi sebuah tes yang dipakai untuk beberapa tujuan itu efektivitasnya tidak akan sama untuk setiap tujuan.

Ada beberapa langkah yang harus dilalui dalam mengembangkan sebuah tes, yaitu:

  1. Menganalisis standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD)
  2. Menyusun peta konsep utama berdasarkan SK dan KD
  3. Menyusun matriks rancangan tes / kisi-kisi tes
  4. Memilah peta konsep berdasarkan indikator yang ingin dikembangkan menjadi item tes
  5. Menyusun spesifikasi untuk satu atau lebih butir soal
  6. Menuliskan butir soal bedasarkan spesifikasi butir soal yang telah dikembangkan
  7. Menentukan rubrik atau pedoman penskoran

a. Menganalisis standar kompetensi dan kompetensi dasar

Analisis standar kompetensi dan kompetensi dasar dimaksudkan agar dalam proses pengembangan tes selalu mengacu pada keterampilan yang harus dikuasai oleh setiap siswa. Setiap item tes harus selalu mengacu pada standar kompetensi dan komptensi dasar yang sudah ditentukan sebelumnya. Analisis standar komptensi dan kompetensi dasar merupakan aktivitas yang tidak bisa ditinggalkan, karena proses pengembangan tes yang tanpa didahului dengan proses analisis terhadap kedua hal tersebut dapat diibaratkan seperti orang berjalan tanpa arah. Dengan demikian tujuan dan informasi apa yang ingin dicapai dari sebuah proses penilaian tidak akan bisa dicapai secara akurat.  Selain itu analisis terhadap kedua hal ini juga dimaksudkan untuk mencapai validitas konstruk yang menjadi dasar dalam pengembangan tes. Validitas konstruk berkaitan dengan definisi atau batasan teori yang menjadi dasar pengembangan komptensi siswa. Validitas konstruk merupakan suatu hal yang sangat penting dalam proses pengembangan tes, karena melalui validitas ini deviasi kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa sedapat mungkin bisa diminimalisir.

b. Menyusun peta konsep utama berdasarkan SK dan KD

Peta konsep merupakan pengelompokan kompetensi esensial dan level pemahaman seperti yang diamanatkan dalam kurikulum (Kumaidi, 2008), agar tes yang dikembangkan itu benar-benar mampu mengukur berbagai pencapaian kompetensi yang harus dikuasai siswa. Secara praktis, penulisan peta konsep ini akan membantu penyusun tes untuk mampu mengidentifikasi berbagai jalinan kompetensi, sehingga pada tahap berikutnya penyusun tes akan mendapatkan gambaran nyata bagaimana sebuah tes harus dikembangkan untuk mengukur kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap siswa. Sejauhmana kompleksitas dan kedalaman peta konsep yang dikembangkan sangat tergantung pada wawasan penyusun tes itu dalam memahami SK dan KD, dan mungkin juga SKL pada setiap mata pelajaran.

c. Menyusun matriks rancangan tes / kisi-kisi tes

Kisi-kisi ini merupakan pedoman bagi para penyusun tes, walaupun pengembangannya berbeda-beda namun soalnya akan mempunyai bobot yang sama. Sedangkan bagi penelaah tes, tes yang ditulis bisa ditelaah apakah sesuai dengan kompetensi dan uraiannya seperti yang terdapat dalam kurikulum. Berdasarkan kompetensi dasar yang ada, kemudian dikembangkan berbagai indikator untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi siswa. Selama ini banyak pakar pendidikan yang beranggapan bahwa satu indikator hanya dapat dikembangkan menjadi satu item tes. Pendapat ini ternyata perlu diluruskan, karena sebenarnya satu indikator boleh digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan sebanyak mungkin item tes.  Namun demikian, pengembangan indikator yang baik mestinya tidak dilakukan secara tertutup sehingga penyusun tes tidak bisa memilih berbagai alternatif yang luas. Misalnya, ada indikator tes ditulis sebagai berikut ‘Diberikan sebuah teks report, siswa mampu menemukan gagasan pokok paragraf kedua’. Berdasarkan indikator tersebut, penyusun tes tidak bisa lagi memilih berbagai alternatif untuk memilih paragraf lain dalam teks itu. Mau tidak mau penyusun tes harus memilih paragraf kedua sebagai dasar untuk pengembangan item tes. Inilah yang dimaksud indikator yang bersifat tertutup. Mestinya indikator itu bisa dikembangkan menjadi ‘Diberikan sebuah teks report, siswa mampu menemukan gagasan pokok suatu paragraf tertentu’.

Jumlah item tes yang digunakan tergantung pada waktu yang tersedia dan materi yang akan diujikan. Materi tes yang diujikan pada prinsipnya harus mewakili materi yang diajarkan. Karena tidak mungkin mengujikan keseluruhan materi maka digunakan sampel, yaitu pemilihan materi tes. Pemilihan materi tes ini harus benar-benar dilakukan dengan cara yang benar, sehingga soal-soal yang akan muncul mampu mewakili kompetensi yang ada.

d. Memilah peta konsep berdasarkan indikator yang ingin dikembangkan menjadi item tes

Tahap ini menurut penulis lebih bersifat optional. Memilah peta konsep berdasarkan indikator lebih dimaksudkan untuk memberikan panduan bagi penulis tes agar mempunyai pilihan yang lebih luas terhadap jalinan kompetensi yang akan diujikan. Ketika penulis tes telah mampu mejabarkan kompetensi menjadi sub-sub kompetensi yang lebih spesifik dalam kuantitas yang luas, maka langkah ini bisa ditinggalkan.

e. Menyusun spesifikasi untuk satu atau lebih butir soal

Spesifikasi tes merupakan uraian yang menunjukkan keseluruhan karakteristik yang harus dimiliki oleh suatu item tes. Spesifikasi yang jelas akan mempermudah dalam menulis soal dan siapa saja yang menulis soal akan menghasilkan tingkat kesulitan yang relatif sama. Penyusunan spesifikasi tes mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1) menentukan diskripsi umum item tes, yaitu berisi tentang informasi mengenai karakteristik umum  item atau soal yang harus dikembangkan oleh penulis tes, 2) menentukan atribut atau bentuk stimulus yang berisi tentang rangkaian atau uraian deskripsi item tes secara lebih spesifik dan terukur, dan 3) menentukan atribut jawaban yang berisi tentang karakteristik jawaban yang dikehendaki. Atribut jawaban juga dimaksudkan untuk memberikan jawaban pengecoh yang baik sehingga siswa tidak terlalu spekulatif dalam menjawab soal.

f. Menuliskan butir soal bedasarkan spesifikasi butir soal yang telah dikembangkan

Menuliskan butir soal merupakan tahapan utama dan terpenting dalam keseluruhan proses pengembangan item tes. Namun demikian, sejauh mana kualitas butir soal yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh tahapan-tahapan sebelumnya. Setiap butir soal dikembangkan berdasarkan sejumlah indikator yang telah dituliskan di dalam kisi-kisi. Bagaimana karakteristik butir soal dan alternatif jawabannya lebih dipertegas lagi di dalam spesifikasi butir soal. Walaupun butir soal dikembangkan oleh banyak orang dan apabila masing-masing pengembang soal selalu mencermati kisi-kisi dan spesifikasi butir soal, maka tingkat kesulitan soal itu akan relatif sama. Inilah alasan perlunya dikembangkan spesifikasi butir soal. Seperti telah disinggung di depan bahwa setiap indikator bisa dikembangkan menjadi beberapa butir soal. Paradigma ini tentunya berbeda dengan paradigma lama yang menyatakan bahwa setiap indikator hanya bisa dikembangkan menjadi satu butir soal saja.

g. Menentukan rubrik atau pedoman penskoran

Pedoman penskoran sangat diperlukan, misalnya dalam ulangan semester bersama, karena rubrik atau pedoman penskoran ini mampu memberikan rambu-rambu bagi banyak pihak (guru-guru) dalam melakukan proses penskoran. Bisa dibayangkan bagaimana subjektivitas setiap guru bermain, ketika pedoman penskoran ini (terutama tes dalam bentuk essay dan mengarang) tidak disiapkan oleh pengembang soal. Rubrik penskoran juga bisa digunakan sebagai standar penskoran yang harus dilakukan oleh setiap satuan pendidikan (sekolah) ketika mereka melakukan proses pengujian secara bersama-sama. Satu hal yang harus diperhatikan adalah penyusunan rubrik penskoran harus selalu mengacu pada aspek-aspek kompetensi seperti yang telah diuraikan dalam setiap indikator kisi-kisi dan spesifiksi butir soal. Dengan demikian, potret kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap siswa dapat terukur dengan jelas dan bermakna.

D. Sistem Penilaian dalam Pengajaran Bahasa Inggris

Selama ini tes bahasa Inggris sering sekali belum menggambarkan tes komunikatif seperti yang dituntut oleh idealisme pengajaran bahasa Inggris dengan menggunakan pendekatan komunikatif. Terdapat beberapa kerancuan antara materi yang diberikan dengan tes untuk mengevaluasi keberhasilan (achievement) pembelajar. Sering pula dijumpai bahwa tes bahasa Inggris lebih mengedepankan bentuk uji yang ingin melihat kemampuan siswa untuk menguasai tata bahasa dan unsur-unsur bahasa, seperti kosa kata dsb. Paradigma ini perlu segera dirubah, karena pada hakekatnya belajar bahasa – terutama pada jenjang sekolah menengah – bukan semata-mata belajar untuk menguasai ilmu bahasa itu, akan tetapi lebih dimaksudkan untuk membantu pembelajar mampu menggunakan bahasa tersebut sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini berarti bahwa dalam mengembangkan tes kemampuan berbahasa tidak lagi harus menekankan pada ranah kognitif, tetapi juga  psikomotorik dan afektif.

Belajar tata bahasa dan kosa kata itu penting, tetapi kedua aspek kebahasaan ini bukan merupakan tujuan utama dalam pembelajaran bahasa Inggris. Penguasaan tata bahasa dan kosa kata diperlukan sebagai sarana pendukung agar siswa mampu menyampaikan ide dan gagasanya secara lebih bermakna dan komprehensif dalam bahasa tersebut. Menurut penulis, pengujian kompetensi berbahasa lebih tepat dilakukan pada aspek bagaimana siswa mampu mengaplikasikan bahasa tersebut dalam komunikasi nyata, bukan sekedar menguji pengetahuan dan pemahaman tentang segala aspek kebahasaannya.

Pada prinsipnya, penilaian dalam pengajaran bahasa Inggris dilakukan karena beberapa alasan, yaitu:

    1. Memberi informasi yang akurat mengenai hasil proses belajar mengajar
    2. Mendorong siswa untuk belajar
    3. Memotivasi guru untuk mengajar lebih baik
    4. Meningkatkan kinerja sekolah
    5. Meningkatkan kualitas pendidikan.

Kelima hal ini merupakan kunci agar setiap penilaian mampu menjalankan fungsinya dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Agar penilaian itu bermakna, maka hasil penilaian harus dianalisis. Analisis hasil ujian akan memberi informasi kepada siswa mengenai kemampuan dasar yang belum dikuasai, juga mendorong guru untuk memperbaiki kinerjanya.

Sesuai dengan prinsip kurikulum tingkat satuan pendidikan bahwa acuan yang digunakan dalam menafsirkan hasil tes adalah acuan kriteria. Pada acuan kriteria asumsi yang digunakan adalah hampir semua orang bisa belajar apa saja, hanya waktunya yang berbeda. Pencapaian hasil belajar siswa harus selalu dibandingkan dengan kompetensi dasar atau standar yang ingin dicapai.

1. Tes dengan Pendekatan Komunikatif

Dalam pengevaluasian keberhasilan pengajaran bahasa Inggris,  asesmen formal tidak boleh dihilangkan, karena itu penulis soal perlu menggunakan sistem ini untuk manfaat yang sebesar-besarnya bagi pembelajar. Untuk melakukan hal ini, menurut Anis Yasin (2007) penulis soal perlu memahami perubahan  paradigma yang telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun, seperti berikut ini.

·

Sejumlah perubahan telah berdampak pada pengembangan kurikulum dan evaluasi belajar.

·

perubahan beranjak dari bahasa sebagai bentuk ke bahasa sesuai dengan konteks dan bahasa sebagai alat komunikasi;

·

semakin banyak perhatian orang pada konstruk tugas sebagai komponen yang sangat penting dalam rancangan pelajaran dan implementasinya;

·

perubahan dari pembelajar sebagai penerima yang pasif ke pembelajar sebagai pengguna bahasa yang aktif dan kreatif;

·

perubahan dari pembelajar sebagai individual ke pembelajar sebagai anggota kelompok sosial yang secara aktif terlibat di dalam pengelolaan bersama proses belajar;

·

perubahan dari konsep kurikulum sebagai sesuatu yang harus terpenuhi atau terlaksana ke proses negosiasi di mana guru dan pembelajar berpartisipasi;

·

perubahan yang berkembang dari input dan output ke arah proses pembelajaran itu sendiri – yaitu kemampuan pembelajar untuk belajar;

·

perubahan yang berkembang dari peniliaian sebagai hasil pengukuran ke arah penilaian sebagai alat untuk belajar yang menuntut kerjasama aktif pembelajar.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak praktisi dalam pengajaran bahasa Inggris yang masih belum memperhatikan perubahan-perubahan di atas. Tes kebahasaan yang biasa dilakukan adalah tes pengetahuan tentang bahasa,  seperti tes pengetahuan kosa kata dan tata bahasa yang terpisah dari konteks. Tes tersebut tidak menggambarkan bagaimana merefleksikan kemampuan pembelajar menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Namun, yang lebih penting adalah kemampuan menggunakan bahasa daripada pengetahuan tentang bahasa. Dell Hymes ( dalam Anis Yasin, 2007) mengemukakan konsep kompetensi komunikatif. Kompetensi komunikatif adalah suatu kompetensi yang melihat kemampuan siswa tidak hanya kemampuan membentuk kalimat yang benar tetapi juga menggunakannya secara tepat. Ide pokok kompetensi komunikatif adalah kemampuan menggunakan bahasa secara tepat baik secara reseptif maupun  produktif, di dalam situasi yang sebenarnya.

2. Apa yang Diukur dengan Tes Bahasa Komunikatif?

Tes bahasa secara komunikatif bertujuan untuk mengukur bagaimana orang yang diuji mampu menggunakan bahasa di dalam situasi kehidupan nyata. Dalam tes keterampilan mengungkapkan bahasa, penekanan lebih banyak pada ketepatan daripada kemampuan membuat kalimat yang gramatikal. Dalam tes keterampilan pemahaman, penekanan lebih banyak pada pemahaman tujuan komunikasi pembicara atau penulis ketimbang memahami hal-hal yang rinci. Dan pada kenyataan, keduanya seringkali digabung di dalam tes komunikatif, sehingga testee harus memahami di samping merespon dalam situasi yang nyata.

Dalam kehidupan nyata, keterampilan yang berbeda sama sekali tidak digunakan secara terpisah. Mungkin pembelajar di kelas mendengarkan ceramah, tetapi sesudah itu, mereka perlu menggunakan informasi yang diperoleh dari pembawa makalah. Dalam berpartisipasi pada diskusi kelompok, mereka harus menggunakan baik keterampilan menyimak maupun berbicara. Bahkan membaca buku untuk tujuan hiburan dapat saja diikuti dengan menyarankan kepada teman dan menceritakan kepada teman kenapa kita menyenanginya.

Sifat “kekomunikatifan” sebuah tes dapat dilihat sebagai suatu keseluruhan. Sedikit sekali tes yang betul-betul komunikatif; banyak tes yang mempunyai beberapa unsur komunikatif. Misalnya, sebuah tes yang di dalamnya testee mendengarkan tuturan dari sebuah kaset dan kemudian memilih salah satu pilihan jawaban yang paling tepat dari tiga pilihan. Namun, tes tersebut masih belum komunikatif dibandingkan dengan tes yang di dalamnya testee berhadapan dengan lawan bicara (daripada hanya mendengarkan kaset) dan dituntut untuk memberikan jawaban yang tepat.

Senada dengan itu, Struckmann (1999) lebih jauh membawa tes ke arah asesmen. Dia mendefinisikan asesmen sebagai kegiatan guru duduk bersama pembelajar untuk menggali potensi yang ada di dalam diri mereka, serta untuk menciptakan kesempatan bagi pembelajar untuk menunjukkan apa yang mampu mereka lakukan. Karena itu, asesmen pendidikan haruslah berbentuk tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki pengalaman pembelajar di samping memenuhi permintaan masyarakat modern terhadap akuntabilitas.

Berdasarkan definisi di atas, menurut Struckmann, evaluasi dalam pengajaran bahasa asing harus berfokus pada fungsi-fungsi berikut ini:

·

fungsi diagnostik – tujuannya adalah menambah kemampuan performansi setiap individu pembelajar;

·

fungsi terapi – sebagai dasar dukungan remedial terhadap pembelajar secara individu;

·

fungsi evaluatif – untuk mendapatkan informasi tentang keberhasilan pengajaran;

·

fungsi pedagogis – untuk memotivasi pembelajar dan guru dalam rangka menciptakan kesadaran berbahasa;

·

fungsi informatif – memberikan bekal informasi tentang apa yang telah dicapai pembelajar.

Tes, asesmen dan evaluasi dalam pengajaran bahasa Inggris seharusnya menggambarkan kemampuan pembelajar menggunakan bahasa dalam komunikasi nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seharusnya tes, evaluasi dan asesmen tidak saja berputar di sekitar pembelajaran tata bahasa, ucapan, kosa kata secara terpisah, tetapi tes harus dipandang dari segi keterpaduan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.

E. Penutup

Tes bahasa yang komunikatif adalah tes bahasa yang menggambarkan bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi nyata. Tentu saja, guru tidak selalu mampu membuat tes yang secara holistik komunikatif, tetapi guru dapat memasukkan unsur-unsur komunikatif ke dalamnya. Tes yang demikian dapat memberikan dampak positif dalam proses pembelajaran bahasa.

Perubahan penekanan dalam pengajaran bahasa Inggris dan asesmennya seharusnya berjalan sejajar sehingga antara pengajaran dan asesmen merupakan kesatuan utuh yang betujuan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam menggunakan bahasa dalam kehidupan nyata secara keseluruhan . Para pelaksana pengajaran bahasa Inggris seharusnya menempatkan dasar-dasar tersebut pada tempatnya di dalam kurikulum.

Daftar Referensi

Anis Yasin. 2007. Tes Kompetensi Komunikatif. Unpublished.

Brenan, Robert L. 2006. Educational Measurement. Washington: American Council on Education Praeger.

Djemari Mardapi. 2003. Konstruksi Tes dan Analisis Butir. Bahan lokakarya Metodologi Interaksi Pembelajaran. Unpublished.

Djemari Mardapi. 2005. Sistem Penilaian pada Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah. Unpublished.

Kumaidi. 2008. Konstruksi Instrumen. Bahan Kuliah Pascasarjana UNY. Unpublished.


Responses

  1. apa yang anda tulis cukup menarik, bagaimana dengan sekolah kita, mungkinkah kita mampu mengubah pola bahwa ada 5 alasan kita melakukan penilaian bisa murni seperti yang anda ajukan ? sementerara kita dituntut oleh suatu sistem yang terkadang berlawanan dengan hati nurani. Saya sangat berharap ilmu yang anda peroleh bisa ditularkan kepada kawan-kawan, utamanya saya, supaya kita segera menyadari bahwa apa yang kita banggakan selama ini tidak semuanya adalah terbaik bagi anak anak kita.

  2. salam kepada pinpinan layanan ini

  3. good blog, but it is better your provide the form of assessment for each aspect e.g listening assessment form etc.

  4. Mohon dikasihkan contoh dari masing-masing point diatas.

    • tolong saya dikirim email Bapak/Ibu supaya saya dapat memberikan contoh dari masing-masing point tersebut.

  5. Tks sangat menarik dan menambah wawasan dan sangat bermanfaat

  6. Tulisan Anda memberikan inspirasi kepada saya untuk penyelesaian disertasi saya tentang Pengembangan tes integratif bahasa Indonesia di SMA. saya sangat berharap Bapak dapat mengirimkan alamat email untuk komunikasi lebih lanjut. wassalam

  7. maaf pak, bisakah file tulisan yang lengkap dikirim ke alamat email saya (aco_karumpa@yahoo.com) untuk rujukan disertasi saya


Leave a reply to romian lbn Siantar, S. Pd Cancel reply

Categories